Tarif Impor Us Naik 32%, Pakar Unair Khawatirkan Hal Ini Untuk Ekonomi Indonesia

A container ship sails off from a container terminal in Qingdao in eastern Chinas Shandong province Sunday, April 6, 2025. (Chinatopix Via AP)
Ilustrasi Impor. (Foto: AP)

Jakarta

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menjadi sorotan dunia usai mengoptimalkan tarif impor pada sejumlah negara tergolong Indonesia. Kedapatan tarif hingga 32 persen, pakar ekonomi internasional Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (FEB Unair) Prof Rossanto Dwi Handoyo SE MSi PhD menampilkan pendapatnya.

Menurutnya, impor yang dipraktekkan menampilkan bila Amerika merasa jual beli dengan negara lain belum adil, di mana produk Amerika yang diekspor ke negara lain memiliki tarif tinggi. Ini membuat neraca jual beli Amerika dengan negara lain defisit setiap tahunnya.

Advertisement

Baca juga: 6 Usulan Strategi Nasional dari Dosen ITS untuk Hadapi Tarif Trump

Baca juga: 15 Negara Pengimpor Beras Terbesar di Dunia, Ada Indonesia?

“Sebagai contoh, Indonesia tahun kemudian surplus hingga 31 miliar dolar dengan separuh kegunaannya berasal dari Amerika. Hal ini tidak sepadan dengan surplus Amerika yang mesti mengeluarkan duit tarif impor yang tinggi, sehingga kebijakan ini diperlukan sanggup mengembangkan laba Amerika dan pembelian produk domestik,” ujarnya dalam laman Unair dikutip Kamis (10/4/2025).

Dampak Ekonomi ke Indonesia

Prof Rossanto menyampaikan dengan diberlakukannya kebijakan ini, harga barang impor dari Indonesia di Amerika akan kian naik. Namun, hal ini sanggup menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar Amerika yang menyebabkan turunnya neraca jual beli dan surplus Indonesia.

“Tanpa upaya yang jelas, maka surplus akan menyusut dan neraca jual beli Indonesia akan mengalami defisit serta kemajuan ekonomi menurun. Dengan fakta prediksi kemajuan ekonomi yang cuma 4,9 persen, maka GDP akan turun alasannya Amerika merupakan salah satu negara tujuan utama ekspor Indonesia,” bebernya.

Prof Rossanto juga menyebut ada risiko tutupnya industri yang bergerak dalam buatan komoditas ekspor, mengembangkan pengangguran serta investasi di beberapa sektor ekspor ke Amerika akan turun. Jika tidak dikerjakan dengan baik, maka efek ekonomi yang ditimbulkan akan kian besar.

Prof Rossanto menjelaskan, polemik yang disertai dengan penurunan rupiah dan IHSG ini menampilkan semua negara mengalami pembalikan kondisi oleh Amerika yang kini berupaya melindungi industri domestik dari luar.

Ia melanjutkan, ditambah dengan inflasi yang tinggi di semua negara dan rupiah yang nyaris menjamah angka psikologis pasar, akan menyebabkan penanam modal ragu dalam melakukan investasi di Indonesia.

Baca juga: Dolar AS Tembus Rp 17.200, Apa Penyebabnya?

Solusi Tarif Impor Amerika

Dalam menyikapi kebijakan ini, Prof Rossanto menyebut jalur perundingan merupakan penyelesaian terbaik. Hal ini didasari dengan fakta bila bukan cuma ekspor Indonesia yang tinggi ke Amerika, tetapi juga dalam hal impor masih membutuhkan Amerika di aneka macam sektor menyerupai jasa, sektor keuangan, kedelai impor.

“Kita mesti menyaksikan proporsional bahwa Amerika penting bagi kita, jangan hingga pasar yang telah ada di Amerika yang labour intensive ini akan hilang. Lakukan diplomasi yang soft mudah-mudahan Amerika sanggup menurunkan tarif, kita juga menurunkan tarif untuk Amerika mudah-mudahan sanggup mendapatkan jalan tengah,” pungkasnya.

20D

Misbakhun Bicara Strategi RI Hadapi Perang Dagang

20D

Misbakhun Bicara Strategi RI Hadapi Perang Dagang


tarif imporekonomi indonesiaperdagangan internasionaldampak ekonomikebijakan perdagangan

Keep Up to Date with the Most Important News

By pressing the Subscribe button, you confirm that you have read and are agreeing to our Privacy Policy and Terms of Use
Add a comment Add a comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Kejari Usut Praduga Korupsi Bansos Pokir Dprd Mataram, Urusan Naik Penyidikan

Next Post

Serba-Serbi Hari Penerbangan Luar Angkasa Yg Diperingati Setiap 12 April

Advertisement